ATTENTION (Muslim Cover lirik) - Dodi Hidayatullah

0 Comments

Kau selalu.. selalu.. selalu mencari perhatian
Agar Si dia..si dia.. suka padamu
Hingga kau lupa.. kau lupa.. kau lupa.. kau lupakan semua
Demi kau dapat.. kau dapat..kau dapat cintanya

Oh..ohh..ohh..

Namun kau tlah terkena tipu dunia
Hingga kau lupakan semua
Bahkan Allahpun jua kau lupakan
Demi mendapat cintanyaa...

Kau telah tertipu bujuk dunia.. a
Terlena si dia pada wajah cantiknya..
Padahal Allah lah yang harus kau cinta
Allah cinta utamakan yang paling utama..

Ohh..ohhh..

Kau terlena.. terlena.. terlena.. akan wajah cantiknya
Tapi bungapun.. bungapun.. kan layu akhirnya
Tapi selalu.. selalu.. selalu.. kau tergoda si dia
Hingga tak mampu.. tak mampu.. tuk tundukan pandangan

Ohh..ohh..

Namun kau tlah terkena tipu dunia
Hingga kau lupakan semua
Bahkan Allahpun jua kau lupakan
Demi mendapat cintanyaa...

Kau telah tertipu bujuk dunia.. a
Terlena si dia pada wajah cantiknya..
Padahal Allah lah yang harus kau cinta
Allah cinta utamakan yang paling utama..

(Awas kau terlena.. Awas nanti kau sampai terlena)

Namun kau tlah terkena tipu dunia
Hingga kau lupakan semua
Bahkan Allahpun jua kau lupakan
Demi mendapat cintanyaa...

Kau telah tertipu bujuk dunia.. a
Terlena si dia pada wajah cantiknya..

0 komentar:

AKAD NIKAH, SHIGHOT, SERTA SYARAT SYARAT AKAD

0 Comments



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
          Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja (ibadah) melainkan juga mengatur hubungan antar manusia dengan manusia (muamalah). 
Hal ini dibuktikan dalam kitab suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu baik ilmu dunia maupun akhirat dan aturan-aturan tertentu untuk tujuan kemaslahatan manusia. Selain itu, terdapat pula hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan memuat hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.
Dalam pengambilan hukum, ulama’ berusaha untuk memahami dan menafsirkan apa-apa yang dimuat dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan al-Qur’an Bersifat global dan berfungsi  berfungsi sebagai sumber hukum dalam islam. Metode pengambilan hukum tersebut dalam islam disebut dengan istinbath al-ahkam. Hasil dari istinbath al-ahkam tersebut dibungkus ke dalam  sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu fiqh.

Salah satu bagian dari ilmu fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
serta urusan keduniawian adalah fiqh muamalah. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti memerlukan manusia lain, oleh karena itu islam memperhatikan hal tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu yang urgen dan vital. Salah satu contoh yaitu tidak semua orang memiliki barang yang ia butuhkan, sedangkan orang lain memiliki barang tersebut, dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka akan terjadi suatu transaksi.
Begitu juga dengan pernikahan. Seseorang tidak akan bisa langsung berhubungan dengan selain jenis tanpa adanya hubungan pernikahan. Salah Satu yang menjadi syarat pernikahan adalah adanya kesepakatan yang ditujukan kepada kedua mempelai.

Kesepakatan tersebut timbul apabila kedua belah pihak telah terikat satu sama lain dalam 
suatu ijab dan qabul. Inilah yang disebut dengan akad dalam islam. Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu transaksi maupun kerjasama dengan orang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan akad nikah?
2. Bagaimana shighat dalam akad nikah?
3.  Apa saja syarat-syarat dalam akad nikah?

C.Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian akad nikah
2. Mengetahui shighat dalam akad nikah
3. Mengetahui syarat-syarat dalam akad nikah


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Dalam Al-Qur’an, ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yakni al-‘aqdu dan al-‘ahdu. 

Kata al-‘aqdu terdapat dalam Al Qur’an:
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah Menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia Kehendaki. (Q.S Al-Maidah:1)

Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah  satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.
Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.

Istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHP, karena istilah akad lebih umum dan  mempunyai daya ikat kepada para pihak yang melakukan perikatan. Sedangkan al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah overeenkomst , yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji ini hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan.

Pengertian akad secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh, ditinjau dari dua segi yaitu:

• Pengertian Umum
Pengertian akad dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.

• Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.

B. Shighat Dalam Akad Nikah
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan menunjukkan atas apa  yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui melalui ucapan,perbuatan,isyarat  dan tulisan. Shighat dalam akad nikah yang dalam hal ini adalah Ijab dan Qabul disyaratkan harus saling berhubungan diantara keduanya. 

Syarat-syaratnya adalah:
• Qobul harus selaras dengan ijab.
Jika memang Ijab dan Qabul berbeda, semisal dalam pengucapan mahar dan penyebutan 
ma’qud alayh, maka akad tersebut tidak sah. Contoh: jika wali mengucapkan, “ saya menikahkan putriku bernama Fulanah dengan maskawin 1000”. Lalu mempelai pria menjawab, 
“saya menerima nikahnya dengan maskawin 500”, maka tidak sah akad tersebut. Tetapi 
ketentuan diatas tidak akan berlaku jika apa yang diucapkan oleh mempelai pria mengucapkan 
ucapan yang ashlah. Semisal “kuterima nikahnya dengan mahar 2000”. Maka pernyataan
tersebut sah dengan syarat mempelai wanita menerimanya.

• Akad harus terjadi pada satu tempat.
Jika salah satu dari orang yang akad meninggalkan tempat sebelum ijab qabul selesai, 
maka akad tidak sah. Menurut Jumhur Ulama’, tidak disyaratkan bagi mempelai pria ketika 
menjawab harus muttashil , tetapi diperbolehken bagi mempelai pria untuk melambatkan 
walaupun diselingi waktu yang lama selama Aqidayn masih dalam satu majlis dan tidak 
mengucapkan sesuatu yang melenceng dari akad.
Berbeda dengan Jumhur, Ulama’ Syafi’iyyah dan Malikyyah mensyaratkan Ijab dan 
Qabul harus muttasil. Tidak boleh dipisah, walaupun sebentar, kecuali sesuatu pemisah yang 
memang berhubungan dengan kemashlahatan akad. Seperti berbicara tentang mahar, maka hal 
demikian bukanlah sesuatu yang bisa merusak akad. Karena hal tersebut bukanlah hal yang 
melencengkan tujuan. Ulama’ Malikiyyah juga memperbolehkan berkata dengan lambat ketika 
qabul dengan syarat hanya sebentar saja.
• Ijab dan Qabul tidak boleh dibatasi
Maka tidak boleh akad nikah dibatasi oleh waktu atau perjanjian. Semisal “Aku akan menikahimu selama satu minggu”, “Aku akan menikahimu ketika aku lulus ujian.” Karena nikah adalah akad Mu’awadhoh , maka tidak sah akad nikah dengan menggunakan ta’liq.
Metode shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara. Diantaranya:

• Akad dengan lafad
Shighat denga ucapan adalah shighat akad yang paling sering digunakan karena mudah dan cepat dipahami. Isi lafad Ulama’ Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa shighat akad dalam pernikahan boleh dengan lafad apa saja. Seperti Menikahkan, Menjadikan dan lain-lain. Serta diikuti dalam hati maksudnya adalah Pernikahan. Sedangkan dipihak yang lain, Ulama’ Hanabilah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa shighat akad dalam pernikahan tidak akan sah kecuali dengan menggunakan lafad nikah dan tazwij atau lafad yang semakna dengan itu. Lafad Shighat dan kata kerja 
dalam shighat Para Ulama’ sepakat bahwasannya fiil Madhi boleh digunakan dalam akad karena merupakan kata kerja yang paling mendekati maksud akad. Merekapun sepakat membolehkan penggunaan fiil mudhori’ . Tentu saja dengan diiringi dengan niat bahwa akad tersebut dilakukan 
seketika itu.
• Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak menggunakan ucapan, tetapi cukup dengan saling meridhoi. 
Seperti yang jama’ pada zaman sekarang. Dalam menetapkan hal ini, Para Ulama’ berbeda pendapat, 
yaitu;
a. Ulama’ Hanabilah dan Hanafiyah diperbolehkan akad dengan perbuatan terhadap barang 
yang sudah umum diketahui manusia. Jika tidak umum, maka akad ini dianggap batal.

B. Imam Maliki dan Imam Ahmad berpendapat boleh tetapi dengan syarat harus jelas adanya 
kerelaan. Baik barang itu secara umum atau tidak.
• Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak diperbolehkan menggunakan isyarat. Bagi yang tidak 
bisa berbicara boleh menggunakan isyarat. Tetapi jika tulisannya bagus, maka lebih baik menggunakan 
tulisan. Hal ini dibolehkan jika dia memang cacat sudah sejak lahir. Kalau tidak sejak lahir, maka dia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.
• Akad dengan tulisan
Pada dasarnya, akad harus menggunakan ucapan. Tidak bisa membandingi akad dengan menggunakan ucapan kecuali memang dalam keadaan darurat. Dibolehkan akad menggunakan tulisan,baik bagi orang 
yang mampu berbicara maupun tidak, dengan syarat tulisan harus jelas, tampak dan dapat difahami oleh keduanya. Namun, jika kedua orang yang akad hadir dan bisa berbicara, maka tidak boleh menggunakan tulisan. Karena saksi harus mendengarkan perkataan orang yang akad. Inilah pendapat

Ulama’ Hanafiyyah.
 Ulama’ Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan menggunakan tulisan itu 
sah jika kedua orang yang akad tidak hadir. Jika hadir, maka akad menggunakan tulisan tidak sah. Sebab tulisan tidak dibutuhkan.

C. Syarat-Syarat dalam Akad Nikah

Pembahasan kali ini akan dibagi enam bagian, yaitu; wali, saksi, maskawin, ta’yin az zaujain, adanya keridhaan antara dua mempelai, dan tidak terdapat hal yang dapat menghalangi keabsahan nikah.

1. Wali
Ulama’ berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan pendapat asybab, Imam Malik dan Imam Syafi’i serta Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Oleh sebab itu, seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. 

Dalil yang menunjang adalah firman Allah Surat al-Baqarah ayat 232: 

Artinya :
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya..........”

Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan az Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya dirinya sendiri tanpa wali,sedang calon suaminya sebanding (Kafa’ ah ) maka nikahnya boleh.
Firman Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 234:
Artinya:
“............Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan 
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut......”

Imam Dawud ad Dhahiri memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya wali bagi gadis dan tidak mensyaratkan bagi janda karena sudah bisa memilih pasangan. Pendapat keempat yang dikemukakan Imam Malik dari riwayat Ibn al-Qosim menyimpulkan bahwa persyaratan wali itu sunnah hukumnya, dan bahkan fardhu ain. Hal ini dikarenakan adanya hubungan waris mewaris yang terjadi antara suami dan istri tanpa menggunakan wali. Imam Malik juga menganjurkan seorang janda mengajukan 
walinya untuk mengawinkannya.

Dengan demikian, Imam Malik seolah menganggap wali termasuk syarat kelengkapan pernikahan, 
bukan syarat sahnya pernikahan. Berbanding terbalik dengan pendapat Malikiyyah yang berpendapat wali termasuk syarat sahnya

2. Saksi
Imam Abu Hanifah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa saksi termasuk syarat dalam pernikahan. Tetapi mereka berselisih apakah saksi menjadi syarat kelengkapan yang diperintahkan ketika hendak menggauli istri atau merupakan syarat sah yang diperintahkan ketika diadakan akad nikah.

Bagi fuqoha’ yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, mengatakan bahwa saksi merupakan salah satu syarat perkawinan. Sedangkan yang berpendapat bahwa kedudukan saksi sebagai 
penguat perkawinan menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.
3. Maskawin
Hukum Maskawin Fuqoha’ sepakat bahwasannya membayar maskawin adalah syarat sahnya nikah. 

Dasarnya adalah Firman Allah:
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian 
dengan penuh kerelaan. (Q.S An-Nisa:4)

Kadar Maskawin, Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa tidak ada batasan tentang besaran mahar. Segala sesuatu yang bisa dijadikan harga, maka sesuatu tersebut boleh dijadikan mahar.

Ukuran mahar menurut Ulama’ Hanafi adalah sepuluh dirham atau satu dinar. Sedangkan menurut Ulama’ Maliki membatasi kadar minimal mahar adalah seperempat dinar atau tiga dirham.

4. Ta’yin Az Zaujain
Ta’yin Az Zaujain Yaitu menyebutkan secara pasti individu pasangan yang dinikahkan, bukan dengan ungkapan yang membuat ragu. Tidak boleh wali nikah hanya mengatakan: 

“saya nikahkan anda dengan anak 
saya“, padahal ia memiliki banyak anak. Harus disebutkan secara pasti anaknya yang mana yang ia nikahkan, dengan menyebutkan namanya. Misal dengan mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya, Aisyah“, ini sah.Tidak boleh juga sekedar menyebutkan: “saya nikahkan anda dengan anak saya yang besar (atau yang kecil)“, yang memungkinkan salah paham.

5. Adanya keridhaan dari kedua mempelai
Tidak terdapat hal yang menghalangi keabsahan nikah, atau dengan kata lain, kedua mempelai halal untuk menikah. Hal-hal yang menghalangi keabsahan nikah misalnya: Keduanya termasuk mahram Masih ada 
hubungan saudara sepersusuan Beda agama, kecuali jika mempelai suami Muslim dan mempelai wanita dari ahlul kitab maka dibolehkan dengan syarat wanita tersebut afifah (wanita yang menjaga kehormatannya). Sang wanita masih dalam masa iddah.

6. Tidak terdapat hal yang dapat menghalangi keabsahan nikah. 

Ada beberapa hal yang bisa menghalangi keabsahan suatu pernikahan diantaranya:
1. Kedua calon pengantin termasuk mahrom.
2. Kedua calon pengantin masih memiliki hubungan saudara sepersusuan.
3. Calon pengantin wanita dalam masa iddah.
4. Kedua calon pengantin memiliki agama atau keyakinan yang berbeda.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Secara etimologi, akad (al-‘aqdu ) berarti perikatan, perjanjian, dan Pemufakatan (al-ittifaq). Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.Secara terminology yaitu Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.

2. Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan menunjukkan atas apa yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui melalui ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan. Shighat dalam akad nikah yang dalam hal ini adalah Ijab dan Qabul 
disyaratkan harus saling berhubungan diantara keduanya.

Syarat-syarat Shighat akad adalah:
o Qobul harus selaras dengan ijab.
o Akad harus terjadi pada satu tempat.
o Ijab dan Qabul tidak boleh dibatasi.

Metode shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara. Diantaranya :
o Akad dengan lafad
o Lafad dengan perbuatan
o Akad dengan Isyarat
o Akad dengan tulisan

3. Syarat-syarat dalam akad nikah:
o Wali
o Saksi
o Maskawin
o Ta’yin Az- Zaujain
o Adanya keridhaan antara kedua mempelai
o Tidak terdapat hal yang dapat menghalangi keabsahan nikah

B. Saran
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu, kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun.



DAFTAR PUSTAKA

https//www.academia.edu.com
https//www.amrikhan.wordpress.com
https//dalamIslam.com/hukum https://www.instagram.com/p/BgVr7rMFJRT/Islam/pernikahan

0 komentar:

SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN

0 Comments



BAB I
PENDAHULUAN

     A.    Latar Belakang

Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia.Untuk melangsungkan sebuah pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah ini secara ringkas akan membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, yang saat ini banyak perselisihan tentang apa saja rukun dan syarat pernikahan, dan bagai mana pula rukun dan syarat pernikahan itu sendiri.

     B.     Rumusan Masalah

a.      Apa pengertian rukun, syarat, dan sah?
b.     Apa sajakah rukun nikah itu?
c.      Apa sajakah syarat sah nikah?
d.     Apa saja syarat dari rukun nikah?

      C.    Tujuan

a.      Mengetahui pengertian rukun, syarat dan sah
b.     Mengetahui apa saja yang menjadi rukun dalam pernikahan
c.      Mengetahui syarat-syarat dari pernikahan
d.      Mengetahui syarat dari rukun pernikahan





BAB II
PEMBAHASAN

       A.    Pengertian rukun, syarat, dan sah
Dalam melaksanakan suatu perikatan terdapat rukun dan syarat yang harus di penuhi. Keduanya mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, rukun itu adalah sesuatu yang berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya, sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan unsurnya.
Secara istilah rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu.sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’I dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaanya menyebabkan hukum itupun  tidak ada. Dalam syari’ah rukun dan syarat sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Perbedaan rukun dan syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di dalam hukum itu sendiri, sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat.

      B.     Rukun nikah
                  Unsur pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
    1.)   Calon mempelai laki-laki
    2.)   Calon mempelai perempuan
    3.)   Wali dari mempelai perempuan yang akan mengakadkan perkawinan
    4.)   Dua orang saksi
    5.)   Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.[3]
Mahar  yang harus ada dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun , karena mahar tersebut tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu akad itu berlangsung.[4]
           
        C.     Syarat sahnya perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :
      a.       Calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikanya istri ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 8 )
        b.      Akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.[5]
    
        D.    Syarat-syarat rukun nikah
Secara rinci rukun-rukun diatas akan dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut :
        1.)    Syarat-syarat kedua mempelai
                a.       Calon mempelai laki-laki
Syari’at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan ijtihad para ulama yaitu :
       -          Calon suami beragama Islam
       -          Terang ( jelas ) bahwa calon suami itu betul laki-laki
       -          Orangnya diketahui dan tertentu
       -           Calon laki-laki itu jelas halal dikawin dengan calon istri
       -          Calon laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya
       -          Calon suami rela  untuk melakukan perkawinan itu ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
       -          Tidak sedang melakukan ihram
       -          Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri
       -          Tidak sedang mempunyai istri empat. ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 )     
            b.      Calon mempelai perempuan
Syarat bagi mempelai perempuan yaitu :
          -          Beragama Islam.
          -          Terang bahwa ia wanita
          -          Wanita itu tentu orangnya
          -          Halal bagi calon suami (UU RI No. 1 Tahun 1994 Pasal 8)
          -          Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam iddah
         -          Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
       ·       Dari Abu Hurairah r.a, Nabi SAW bersabda :
 “ Perempuan yang sudah janda tidak boleh dikawinkan kecuali setelah ia minta dikawinkan dan perempuan yang masih perawan tidak boleh dikawinkan kecuali setelah ia diminta izin. Mereka berkata ya Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?Nabi berkata izinnya adalah diamnya.” (Muttafaq ‘alaih)
   ·    Dari Ibnu Abbas r.a, Nabi SAW bersabda : “ Perempuan janda lebih berhak atas dirinya dibandingkan denngan walinya dan perempuan yang masih perawan diminta izinnya dan izinnya adalah diamnya.” (HR. Muslim)
-          Tidak dalam ihram haji atau umrah
Dalam Komplikasi Hukum Islam, syarat calon suami dan istri sebagai berikut :
     a.      Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang kurangnya berumur 16 tahun.
        b.     Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
    c.      Sebelum berlangsungnya perkawinan, pegawai pencatat nikah menyatakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

       2.)    Syarat-syarat ijab Kabul
Ijab adalah pernyataan dari calon pengantin perempuan yang diawali oleh wali.Hakikat dari ijab adalah sebagai pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan diri dengan seorang laki-laki sebagai suami sah.Qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan.Bentuk pernyataan penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang memberikan pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan.Perkawinan wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah yang dinamakan akad nikah.Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang bisa difahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali mempelai perempuan atau walinya sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai laki-laki atau wakilnya.Menurut pendapat khanafi boleh juga dilakukan oleh pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan (wali atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh sebaliknya.
Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.Khanafi membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majelis dan tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling dari maksud akad tersebut.
Lafadz yang digunakan akad nikah adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam kitabullah dan sunnah. Demikian menurut Asy-Syafi’I dan Hambali. Sedangkan khanafi membolehkan kalimat yang lain yang tidak dengan Al-Qur’an misalnya dengan kalimat hibah, sedekah, pemilikan, dan sebagainya. bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.

      3.)    Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki, muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah sah.[6] Berdasarkan sabda Nabi SAW :
لَا نِكَاحَ اِلَّابِ اْلوَلِيىِّ (رواه الخمسى)
“tidak sah pernikahan tanpa wali”
اَيّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ بِغَيْرِإِدِ نِ وَلِيِّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلُ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَااْالمَهْرُ بِمَاسْتَحَلَّ مِنْ فرْجِهَافَإِنِ اسْتَجَرُوْافَالسُّلْطَانُ وَلِىٌّ مَنْ لاَ وَلِىٌّ لَهُ (رواه الخمسة الا النسا ئى)
      “perempuan siapa saja yang menikah tanpa izin walinya  perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami telah melakukan hubungan seksual, siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah ia buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali itu enggan, sultanlah yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR. Al-Khomisah kecuali An-Nasaiy)
      Khanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan.Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh mengawinkan dirinya sendiri tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi.Sedangkan malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan bukan untuk mengawinkan perempuan awam.
Anak kecil, orang gila, dan budak tidak dapat menjadi wali. Bagaimana mereka akan menjadi wali sedangkan untuk menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.
Abu khanifah dan abu yusuf berpendapat tentang akad nikah perempuan yang berakal dan sudah dewasa sebagai berikut :
sesungguhnya seorang perempuan yang berakal dan dewasa berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik ia gadis ataupun janda,… akan tetapi yang disukai adalah apabila ia menyerahkan akad perkawinannya kepada walinya, karena menjaga pandangan yang merendahkan dari laki-laki lain apabila dia melakukan sendiri akad nikahnya.
Akan tetapi bagi walinya yang ashib (ahli waris) tidak berhak menghalanginya, kecuali apabila ia melakukan perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak kufu’ (tidak sepadan) atau apabila maskawinnya lebih rendah dari pada mahar mitsil
Bahkan apabila ia mengawini diri sendirinya itu dengan orang yang tidak kufu (tidak sepadan) dan tanpa keridhoan walinya yang ‘ashib, yang diriwayatkan oleh abu khanifah dan abu yusuf adalah ketidak sahan perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan dapat mengajukan pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan keputusan dengan adil, karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan yang demikian itu untuk mencegah adanya perselisihan.
Menurut riwayat yang lain wali juga berhak menghalangi  perkawinan yang demikian itu dengan cara meminta kepada hakim agar memisahkannya, karena menjaga aib yang mungkin timbul selagi si istri itu belum melahirkan dari suaminya atau belum nyata mengandung, sebab apabila sudah demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta perceraiannya dengan maksud agar tidak terlantarlah sianak dan untuk menjaga kandungan.
Dan apabila suaminya kufu, sedang maharnya lebih rendah dari mahar mitsil, apabila wali dapat menerima akad boleh berlangsung, tetapi apabila wali tidak dapat menerima ia dapat mengajukan kepada hakim agar hakim memfasakhkan perkawinan tersebut.
Akan tetapi apabila si perempuan tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia tidak mempunyai wali sama sekali atau mempunyai wali tetapi bukan wali ‘ashib siapapun tidak berhak menghalang-halangi perempuan tersebut untuk melakukan akadnya, baik itu ia kawin dengan seorang laki-laki yang kufu’ ataupun tidak kufu, dengan mahar mitsil ataupun bahkan dengan mahar yang lebih rendah dari mahar mitsil, sebab dengan keadaan yang demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan berada pada tanggung jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag akan tertimpa oleh aib karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu tersebut, dan juga maharnya telah gugur lantaran iapun sudah lepas dari kewenangan wali-walinya (fiqhus sunnah, as-sayid sabiq, hal. 10-11 juz VII cet. 1968/1388)
Wali hendaknya menanyakan calon mempelai perempuan, berdasarkan hadits berikut ini :
عَنْ اِبْنُ عَبَّاسْ اَنَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم قاَلَ : اَلثَيِّبٌ اَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَاوَاْلبِكْرُ تُسْتَأْدَ نُ فِيْ نَفْسِهَا وَإِدْنُهَا صُمَاتُهَا (رواه الجماعة الا البخاروفي رواية لااحمد وابى داود والنسا ئى) اْلبِكْرٌيَسْتَأْمِرُهَا
“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya Rosulullah SAW berkawa : janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang gadis hendaklah diminta izinnya dan izin gadis itu adalah diamnya.”diriwayatkan oleh jam’ah kecuali bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan An Nasaiy dikemukakan :
وَاْلبِكْرُيَسْتأْمِرُهَاأَبُوْهَا
dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya”
   
   Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali yaitu : 
      a.       Bapak
      b.      Kakek dan seterusnya keatas
      c.       Saudara laki-laki sekandung/seayah
      d.      Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah  
      e.       Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung/seayah
f.       Paman sekandung/seayah
      g.      Anak laki-laki dari paman sekandung/seayah
      h.      Saudara kakek
      i.        Anak laki-laki saudara kakak

Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :[7] 
      a.)   Wali Nasab
Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.
      b.)   Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi.
       c.)   Wali Tahkim
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami atau calon istri.
       d.)   Wali maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya.
       e.)   Wali Mujbir dan Wali ‘Adlal
Wali mujbir adalah seorang wali yang berhak menikahkan perempuan yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang diwalikan tanpa melihat rida atau tidaknya pihak yang berada di bawah perwaliannya.
            Apabila wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan menikah dengan seorang pria yang kufu’, maka dinamakan wali ‘adlal.
        4.)    Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, melihat, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.
Menurut golongan khanafi dan hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan.Dan menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik.Orang tuli, orang mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.Sebagian besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan.Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah.Inilah pendapat syafi’I, khanafi, hanbali.
Bagaimana kalau saksi  seorang, lalu datang  seorang saksi lagi?
Menurut kebanyakan ulama dua orang saksi itu wajib ada bersama, demikian pendirian ulama khuffah. Sedang menurut ulama madinah , termasuk imam malik, akad nikah sah apabila didatangi oleh seorang saksi, kemudian datang lagi seorang saksi, jika perkawinan itu diumumkan.
Seorang saksi harus memenhi beberapa syarat, yaitu :[8]
·       Islam
Imam Rofi’I berhujjah dengan sabda Saw :
“ tidak dapat diterima kesksian pemelk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka, kecuali orang-orang Islam karena mereka itu adalah orang-orang yang adil baik terhadap dirinya maupun terhadap orang lain.” (HR. Abdur Rozzaq)
·       Baligh (QS. Al-Baqarah : 282)
·       Berakal
·       Adil
Termaktub dalam firman Allah SWT dalam surat A-Thalaq ayat 2 yg artinya :
“ … dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu… “
·       Dapat berbicara
·       Ingatannya baik
·       Bersih dari tuduhan
Berdasarkan hadist Nabi Muhammad Saw, yang artinya :
“ Dari ‘Abdullah bin Umar r.a berkata : Rosulullah Saw bersabda : Tidak diperbolehkan kesaksian yang khianat laki-laki dan perempuan, orang yang mempunyai permusuhan terhadap saudaranya dan tidak diperbolehkan kesaksian pembantu rumah tangga terhadap tuannya.” (HR. Abu Dawud)


BAB III
PENUTUPAN

            A.    Kesimpulan
Rukun adalah yang harus dipenuhi untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan (peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. Menurut jumhur ulama rukun pernikahan sendiri ada lima yaitu adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan, adanya wali dari pihak wanita, adanya dua orang saksi, sighat akad nikah ( yang masing-masing rukun memiliki syarat-syarat tertentu ). Dan syarat sah pernikahan pada garis besarnya ada dua yaitu calon mempelai perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri, akad nikahnya dihadiri oleh para saksi.
Syarat-syarat rukun nikah
1. Syarat Mempelai
            Syarat mempelai laki-laki yaitu :
a.      Bukan Mahram dari calon istri
b.     Tidak Terpaksa/atas kemauan sendiri
c.      Orangnya tertentu/jelas orangnya
d.     Tidak sedang menjalankan ihram haji
Syarat mempelai wanita yaitu :
a.      Tidak ada halangan hokum (Tidak bersuami, Bukan mahram,Tidak sedang dalam iddah)
b.     Merdeka atas kemauan sendiri
2. Syarat wali
            Wali harus memenuhi syarat wali sebagai berikut :
a.      Laki-laki
b.     Baligh
c.      Berakal
d.     Tidak dipaksa
e.      Adil
f.      Tidak sedang ihram haji
Persyaratan wali menurut Pasal 20 Komplikasi Hukum Islam, yaitu : seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, Akil, dan Baligh
3. Syarat Saksi
Syarat saksi yaitu sebagai berikut :
      a.      Laki-laki
      b.     Islam
      c.      Baligh 
      d.      Berakal
      e.      Dapat mendengar dan melihat
      f.      Tidak dipaksa
      g.     Tidak sedang melaksanakan ihram
      h.     Memahami apa yang digunakan untuk ijab Kabul

 4. Syarat Ijab Kabul
Adapun sayarat ijab Kabul, yaitu :
      a.      Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
      b.     Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
      c.      Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
      d.     Antara ijab dan Kabul bersambung
      e.     Antara ijab dan Kabul jelas maksudnya
      f.      Orang yang terikat dengan ijab dan Kabul tidak sedang ihram, haji atau umrah.
   g.  Majelis ijab dan Kabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
  
        B.    Kritik dan Saran
Demikianlah makalah tentang Rukun dan Syarat Pernikahan yang telah kami paparkan.Kami menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan.Harapan pemakalah, semoga makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.




[1]Prof. Dr. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004)Hal.59
[2]Gemala dewi SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia. (Jakarta : kencana, 2005) Hal.49-50

[3]Prof. Dr. Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004)Hal.61
[4]Ibid., Hal.61
[5]Ibid. Hal.49
[6]Mardani.Hukum Keluarga Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2014) Hal.43
[7]Sahrani, Sohari dan Tihami.Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap. (Depok : Rajawali Pers, 2008.) Hal.95-102
[8]Ibid. Hal.111-114

0 komentar: