SYARAT DAN RUKUN PERNIKAHAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Pernikahan merupakan ikatan lahir
batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia.Untuk melangsungkan sebuah
pernikahan yang sah, perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu
makalah ini secara ringkas akan membahas tentang rukun dan syarat pernikahan,
yang saat ini banyak perselisihan tentang apa saja rukun dan syarat pernikahan,
dan bagai mana pula rukun dan syarat pernikahan itu sendiri.
B. Rumusan
Masalah
a. Apa pengertian rukun, syarat, dan
sah?
b. Apa sajakah rukun nikah itu?
c. Apa sajakah syarat sah nikah?
d. Apa saja syarat dari rukun nikah?
C. Tujuan
a. Mengetahui pengertian rukun, syarat
dan sah
b. Mengetahui apa saja yang menjadi rukun
dalam pernikahan
c. Mengetahui syarat-syarat dari
pernikahan
d. Mengetahui syarat dari rukun pernikahan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian rukun, syarat, dan sah
Dalam melaksanakan suatu perikatan
terdapat rukun dan syarat yang harus di penuhi. Keduanya
mengandung arti yang berbeda dari segi bahasa, rukun itu adalah sesuatu yang
berada di dalam hakikat dan merupakan bagian atau unsur yang mewujudkannya,
sedangkan syarat adalah sesuatu yang berada diluarnya dan tidak merupakan
unsurnya.
Secara istilah rukun adalah suatu
unsur yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau
lembaga yang menentukan sah atau tidaknya suatu perbuatan tersebut dan ada atau
tidaknya sesuatu itu.sedangkan syarat adalah sesuatu yang tergantung padanya
keberadaan hukum syar’I dan ia berada diluar hukum itu sendiri yang ketiadaanya
menyebabkan hukum itupun tidak ada. Dalam syari’ah rukun dan syarat
sama-sama menentukan sah atau tidaknya suatu transaksi. Perbedaan rukun dan
syarat menurut ulama ushul fiqih, bahwa rukun merupakan sifat yang kepadanya
tergantung keberadaan hukum, tetapi ia berada di dalam hukum itu sendiri,
sedangkan syarat merupakan sifat yang kepadanya tergantung keberadaan hukum
tetapi ia berada diluar hukum itu sendiri. Sah yaitu sesuatu pekerjaan (ibadah)
yang memenuhi rukun dan syarat.
B. Rukun nikah
Unsur
pokok suatu perkawinan adalah laki-laki dan perempuan yang akan kawin, akad
perkawinan itu sendiri, wali yang melangsungkan akad dengan si suami, dua orang
saksi yang menyaksikan telah berlangsungnya akad perkawinan itu. Berdasarkan
pendapat ini rukun perkawinan itu secara lengkap adalah sebagai berikut:
1.) Calon mempelai laki-laki
2.) Calon mempelai perempuan
3.) Wali dari mempelai perempuan yang
akan mengakadkan perkawinan
4.) Dua orang saksi
5.) Ijab yang dilakukan oleh wali dan qabul yang dilakukan oleh suami.
Mahar yang harus ada
dalam setiap perkawinan tidak termasuk ke dalam rukun , karena mahar tersebut
tidak mesti disebut dalam akad perkawinan dan tidak mesti diserahkan pada waktu
akad itu berlangsung.
C. Syarat sahnya perkawinan
Syarat-syarat perkawinan merupakan
dasar bagi sahnya perkawinan, apabila syarat-syarat terpenuhi maka perkawinan
itu sah dan menimbulkan adanya hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Pada garis besarnya syarat sah perkawinan itu ada dua :
a. Calon mempelai perempuan halal
dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadikanya istri ( UU RI No. 1 Tahun 1974
Pasal 8 )
b. Akad nikahnya dihadiri oleh para
saksi.
D. Syarat-syarat rukun nikah
Secara rinci rukun-rukun diatas akan
dijelaskan syarat-syaratnya sebagai berikut :
1.) Syarat-syarat kedua mempelai
a. Calon mempelai laki-laki
Syari’at islam menentukan beberapa
syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami berdasarkan ijtihad para ulama
yaitu :
- Calon suami beragama Islam
- Terang ( jelas ) bahwa calon suami
itu betul laki-laki
- Orangnya diketahui dan tertentu
- Calon laki-laki itu jelas
halal dikawin dengan calon istri
- Calon laki-laki tahu/kenal pada
calon istri serta tahu betul calon istri halal baginya
- Calon suami rela untuk
melakukan perkawinan itu ( UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
- Tidak sedang melakukan ihram
- Tidak mempunyai istri yang haram
dimadu dengan calon istri
- Tidak sedang mempunyai istri empat. (
UU RI No. 1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 1 )
b. Calon mempelai perempuan
Syarat bagi mempelai perempuan yaitu
:
- Beragama Islam.
- Terang bahwa ia wanita
- Wanita itu tentu orangnya
- Halal bagi calon suami (UU RI No. 1
Tahun 1994 Pasal 8)
- Wanita itu tidak dalam ikatan
perkawinan dan tidak masih dalam iddah
- Tidak dipaksa/ikhtiyar (UU RI No. 1
Tahun 1974 Pasal 6 Ayat 1)
·
Dari Abu
Hurairah r.a, Nabi SAW bersabda :
“
Perempuan yang sudah janda tidak boleh dikawinkan kecuali setelah ia minta
dikawinkan dan perempuan yang masih perawan tidak boleh dikawinkan kecuali
setelah ia diminta izin. Mereka berkata ya Rasulullah, bagaimana bentuk
izinnya?Nabi berkata izinnya adalah diamnya.” (Muttafaq ‘alaih)
· Dari Ibnu Abbas
r.a, Nabi SAW bersabda : “ Perempuan janda lebih berhak atas dirinya
dibandingkan denngan walinya dan perempuan yang masih perawan diminta izinnya
dan izinnya adalah diamnya.” (HR. Muslim)
- Tidak dalam ihram haji atau umrah
Dalam
Komplikasi Hukum Islam, syarat calon suami dan istri sebagai berikut :
a.
Untuk
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon
mempelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam Pasal 7
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yakni calon suami sekurang kurangnya berumur
19 tahun dan calon istri sekurang kurangnya berumur 16 tahun.
b.
Perkawinan
didasarkan atas persetujuan calon mempelai.
c.
Sebelum
berlangsungnya perkawinan, pegawai pencatat nikah menyatakan lebih dahulu persetujuan
calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.
2.) Syarat-syarat ijab Kabul
Ijab adalah pernyataan dari calon
pengantin perempuan yang diawali oleh wali.Hakikat dari ijab adalah sebagai
pernyataan perempuan sebagai kehendak unutk mengikatkan diri dengan seorang
laki-laki sebagai suami sah.Qabul adalah pernyataan penerimaan dari calon
penganitn laki-laki atas ijab calon penganuitn perempuan.Bentuk pernyataan
penerimaan berupa sighat atau susunan kata-kata yang jelas yang memberikan
pengertian bahwa laki-laki tersebut menerima atas ijab perempuan.Perkawinan
wajib ijab dan Kabul dilakukan dengan lisan, inilah yang dinamakan akad
nikah.Bagi orang bisu sah perkawinannya dengan isyarat tangan atau kepala yang
bisa difahami.
Ijab dilakukan oleh pihak wali
mempelai perempuan atau walinya sedangkan Kabul dilakukan oleh mempelai
laki-laki atau wakilnya.Menurut pendapat khanafi boleh juga dilakukan oleh
pihak mempelai laki-laki atau wakilnya dan Kabul oleh pihak perempuan (wali
atau wakilnya) apabila perempuan itu telah baligh dan berakal dan boleh
sebaliknya.
Ijab dan Kabul dilakukan dalam satu
majlis tidak boleh ada jarak yang lama antara ijab dan qabul yang merusak
kesatuan akad dan kelangsungan akad, dan masing-masing ijab dan qabul dapat
didengar dengan baik oleh kedua belah pihak dan dua orang saksi.Khanafi
membolehkan ada jarak antara ijab dan Kabul asal masih dalam satu majelis dan
tidak ada yang menunjukkan hal-hal yang menunjukkan salah satu pihak berpaling
dari maksud akad tersebut.
Lafadz yang digunakan akad nikah
adalah lafadz nikah atau tazwij, yang terjemahannya adalah kawin dan
nikah. Sebab kalimat-kalimat itu terdapat didalam kitabullah dan sunnah.
Demikian menurut Asy-Syafi’I dan Hambali. Sedangkan khanafi membolehkan kalimat
yang lain yang tidak dengan Al-Qur’an misalnya dengan kalimat hibah, sedekah,
pemilikan, dan sebagainya. bahasa sastra atau biasa yang artinya perkawinan.
3.) Syarat-syarat wali
Wali hendaklah seorang laki-laki,
muslim, baligh, berakal, dan adil. Perkawinan tanpa wali tidaklah sah.
Berdasarkan sabda Nabi SAW :
لَا نِكَاحَ اِلَّابِ اْلوَلِيىِّ
(رواه الخمسى)
“tidak sah pernikahan tanpa wali”
اَيّمَاامْرَأَةٍ نَكَحَتْ
بِغَيْرِإِدِ نِ وَلِيِّهَافَنِكَاحُهَابَاطِلٌ فَنِكَا حُهَابَاطِلٌ فَنِكَا
حُهَابَاطِلُ فَإِنْ دَخَلَ بِهَا فَلَهَااْالمَهْرُ بِمَاسْتَحَلَّ مِنْ
فرْجِهَافَإِنِ اسْتَجَرُوْافَالسُّلْطَانُ وَلِىٌّ مَنْ لاَ وَلِىٌّ لَهُ (رواه
الخمسة الا النسا ئى)
“perempuan siapa saja yang
menikah tanpa izin walinya perkawinannya itu batal, perkawinannya itu
batal, perkawinannya itu batal. Apabila sang suami telah melakukan hubungan
seksual, siperempuan itu berhak mendapatkan mas kawin lantaran apa yang telah
ia buat halal pada kemaluan perempuan itu, apabila wali itu enggan, sultanlah
yang bagi wali apabila ia tidak ada walinya” (HR. Al-Khomisah kecuali
An-Nasaiy)
Khanafi tidak mensyaratkan
wali dalam perkawinan.Perempuan yang telah baligh dan berakal menurutnya boleh
mengawinkan dirinya sendiri tanpa wajib dihadiri oleh dua orang saksi.Sedangkan
malik berpendapat, wali adalah syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan
bukan untuk mengawinkan perempuan awam.
Anak kecil, orang gila, dan budak
tidak dapat menjadi wali. Bagaimana mereka akan menjadi wali sedangkan untuk
menjadi wali atas diri mereka sendiri tidak mampu.
Abu khanifah dan abu yusuf
berpendapat tentang akad nikah perempuan yang berakal dan sudah dewasa sebagai
berikut :
“sesungguhnya seorang perempuan yang berakal dan dewasa
berhak mengurus langsung akan dirinya sendiri, baik ia gadis ataupun janda,…
akan tetapi yang disukai adalah apabila ia menyerahkan akad perkawinannya
kepada walinya, karena menjaga pandangan yang merendahkan dari laki-laki lain
apabila dia melakukan sendiri akad nikahnya.
Akan tetapi bagi walinya yang ashib
(ahli waris) tidak berhak menghalanginya, kecuali apabila ia melakukan
perkawinan dirinya sendiri itu dengan orang yang tidak kufu’ (tidak sepadan)
atau apabila maskawinnya lebih rendah dari pada mahar mitsil
Bahkan apabila ia mengawini diri
sendirinya itu dengan orang yang tidak kufu (tidak sepadan) dan tanpa keridhoan
walinya yang ‘ashib, yang diriwayatkan oleh abu khanifah dan abu yusuf adalah
ketidak sahan perkawinan itu, sebab tidak semua wali baik dan dapat mengajukan
pengaduan kepada hakim, dan tidak semua hakim memberikan keputusan dengan adil,
karena itulah mereka berfatwa ketidak sahan perkawinan yang demikian itu untuk
mencegah adanya perselisihan.
Menurut riwayat yang lain wali juga
berhak menghalangi perkawinan yang demikian itu dengan cara meminta
kepada hakim agar memisahkannya, karena menjaga aib yang mungkin timbul selagi
si istri itu belum melahirkan dari suaminya atau belum nyata mengandung, sebab
apabila sudah demikian keadaanya gugurlah haknya untuk meminta perceraiannya
dengan maksud agar tidak terlantarlah sianak dan untuk menjaga kandungan.
Dan apabila suaminya kufu, sedang
maharnya lebih rendah dari mahar mitsil, apabila wali dapat menerima akad boleh
berlangsung, tetapi apabila wali tidak dapat menerima ia dapat mengajukan
kepada hakim agar hakim memfasakhkan perkawinan tersebut.
Akan tetapi apabila si perempuan
tidak mempunyai wali ashib, misalnya ia tidak mempunyai wali sama sekali atau
mempunyai wali tetapi bukan wali ‘ashib siapapun tidak berhak
menghalang-halangi perempuan tersebut untuk melakukan akadnya, baik itu ia
kawin dengan seorang laki-laki yang kufu’ ataupun tidak kufu, dengan mahar
mitsil ataupun bahkan dengan mahar yang lebih rendah dari mahar mitsil, sebab
dengan keadaan yang demikian segala sesuatu kembali kepadanya dan berada pada
tanggung jawab ia sepenuhnya. Dan lagi ia sudah mempunyai wali yag akan
tertimpa oleh aib karena perkawinannya dengan lelaki yang tidak kufu tersebut,
dan juga maharnya telah gugur lantaran iapun sudah lepas dari kewenangan
wali-walinya (fiqhus sunnah, as-sayid sabiq, hal. 10-11 juz VII cet. 1968/1388)
Wali hendaknya menanyakan calon
mempelai perempuan, berdasarkan hadits berikut ini :
عَنْ اِبْنُ عَبَّاسْ اَنَّ رَسُوْلُ
الله صلى الله عليه وسلم قاَلَ : اَلثَيِّبٌ اَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ
وَلِيِّهَاوَاْلبِكْرُ تُسْتَأْدَ نُ فِيْ نَفْسِهَا وَإِدْنُهَا صُمَاتُهَا (رواه
الجماعة الا البخاروفي رواية لااحمد وابى داود والنسا ئى)
اْلبِكْرٌيَسْتَأْمِرُهَا
“Dari Ibnu Abbas sesungguhnya
Rosulullah SAW berkawa : janda itu lebih berhak atas dirinya, sedangkan seorang
gadis hendaklah diminta izinnya dan izin gadis itu adalah diamnya.”diriwayatkan
oleh jam’ah kecuali bukhori, sedang didalam riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud dan An
Nasaiy dikemukakan :
وَاْلبِكْرُيَسْتأْمِرُهَاأَبُوْهَا
“dan gadis hendaklah ayahnya meminta izin kepadanya”
Adapun orang-orang yang berhak menjadi wali
yaitu :
a. Bapak
b. Kakek dan seterusnya keatas
c. Saudara laki-laki sekandung/seayah
d. Anak laki-laki dari paman
sekandung/seayah
e. Anak laki-laki dari saudara
laki-laki sekandung/seayah
f. Paman sekandung/seayah
g. Anak laki-laki dari paman
sekandung/seayah
h. Saudara kakek
i. Anak laki-laki saudara kakak
Dalam pernikahan ada beberapa macam wali yaitu :
a.) Wali Nasab
Wali
nasab adalah wali nikah karena ada hubungan nasab dengan wanita yang akan
melangsungkan pernikahan.
b.)
Wali Hakim
Wali hakim adalah wali nikah dari hakim atau qadi.
c.)
Wali Tahkim
Wali tahkim adalah wali yang diangkat oleh calon suami atau
calon istri.
d.)
Wali maula
Wali maula adalah wali yang menikahkan budaknya.
e.)
Wali Mujbir dan Wali ‘Adlal
Wali mujbir adalah seorang wali yang
berhak menikahkan perempuan yang diwalikan diantara golongan tersebut tanpa
menanyakan pendapat mereka lebih dahulu, dan berlaku juga bagi orang yang
diwalikan tanpa melihat rida atau tidaknya pihak yang berada di bawah
perwaliannya.
Apabila
wali itu tidak mau menikahkan wanita yang sudah baligh yang akan menikah dengan
seorang pria yang kufu’, maka dinamakan wali ‘adlal.
4.) Syarat-syarat saksi
Saksi yang menghadiri akad nikah
haruslah dua orang laki-laki, muslim, baligh, melihat, berakal, melihat dan
mendengar serta mengerti akan maksud akad nikah.
Menurut golongan khanafi dan
hambali, boleh juga saksi itu satu orang lelaki dan dua orang perempuan.Dan
menurut khanafi boleh dua orang buta atau dua orang fasik.Orang tuli, orang
mabuk dan orang tidur tidak boleh menjadi saksi.Sebagian besar ulama
berpendapat saksi merupakan syarat (rukun) perkawinan.Karena itu perkawinan
(akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah.Inilah pendapat syafi’I, khanafi,
hanbali.
Bagaimana kalau saksi seorang,
lalu datang seorang saksi lagi?
Menurut kebanyakan ulama dua orang saksi itu wajib ada
bersama, demikian pendirian ulama khuffah. Sedang menurut ulama madinah ,
termasuk imam malik, akad nikah sah apabila didatangi oleh seorang saksi,
kemudian datang lagi seorang saksi, jika perkawinan itu diumumkan.
Seorang saksi harus memenhi beberapa syarat, yaitu :
·
Islam
Imam Rofi’I berhujjah dengan sabda Saw
:
“ tidak dapat diterima kesksian
pemelk suatu agama terhadap yang bukan pemeluk agama mereka, kecuali
orang-orang Islam karena mereka itu adalah orang-orang yang adil baik terhadap
dirinya maupun terhadap orang lain.” (HR. Abdur Rozzaq)
·
Baligh (QS. Al-Baqarah : 282)
·
Berakal
·
Adil
Termaktub dalam firman Allah SWT
dalam surat A-Thalaq ayat 2 yg artinya :
“ … dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil diantara kamu… “
·
Dapat berbicara
·
Ingatannya baik
·
Bersih dari tuduhan
Berdasarkan hadist Nabi Muhammad
Saw, yang artinya :
“ Dari ‘Abdullah bin Umar r.a berkata : Rosulullah Saw
bersabda : Tidak diperbolehkan kesaksian yang khianat laki-laki dan perempuan,
orang yang mempunyai permusuhan terhadap saudaranya dan tidak diperbolehkan
kesaksian pembantu rumah tangga terhadap tuannya.” (HR. Abu Dawud)
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Rukun adalah yang harus dipenuhi
untuk sahnya suatu pekerjaan, sedangkan syarat adalah ketentuan
(peraturan, petunjuk) yang harus diindahkan dan dilakukan.Sah yaitu sesuatu
pekerjaan (ibadah) yang memenuhi rukun dan syarat. Menurut jumhur ulama rukun
pernikahan sendiri ada lima yaitu adanya calon suami dan istri yang akan
melakukan pernikahan, adanya wali dari pihak wanita, adanya dua orang saksi,
sighat akad nikah ( yang masing-masing rukun memiliki syarat-syarat tertentu ).
Dan syarat sah pernikahan pada garis besarnya ada dua yaitu calon mempelai
perempuan halal dikawin oleh laki-laki yang ingin menjadiknnya istri, akad
nikahnya dihadiri oleh para saksi.
Syarat-syarat
rukun nikah
1. Syarat Mempelai
Syarat mempelai laki-laki yaitu :
a. Bukan
Mahram dari calon istri
b. Tidak
Terpaksa/atas kemauan sendiri
c. Orangnya
tertentu/jelas orangnya
d. Tidak
sedang menjalankan ihram haji
Syarat
mempelai wanita yaitu :
a. Tidak
ada halangan hokum (Tidak bersuami, Bukan mahram,Tidak sedang dalam iddah)
b. Merdeka
atas kemauan sendiri
2. Syarat wali
Wali harus memenuhi syarat wali sebagai berikut :
a. Laki-laki
b. Baligh
c. Berakal
d. Tidak
dipaksa
e. Adil
f. Tidak
sedang ihram haji
Persyaratan
wali menurut Pasal 20 Komplikasi Hukum Islam, yaitu : seorang laki-laki yang
memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, Akil, dan Baligh
3. Syarat Saksi
Syarat saksi yaitu
sebagai berikut :
a.
Laki-laki
b.
Islam
c.
Baligh
d. Berakal
e.
Dapat mendengar
dan melihat
f. Tidak dipaksa
g.
Tidak sedang
melaksanakan ihram
h.
Memahami apa
yang digunakan untuk ijab Kabul
4. Syarat Ijab Kabul
Adapun sayarat ijab
Kabul, yaitu :
a.
Adanya
pernyataan mengawinkan dari wali
b.
Adanya
pernyataan penerimaan dari calon mempelai
c.
Memakai kata-kata
nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata tersebut
d.
Antara ijab dan
Kabul bersambung
e. Antara ijab dan Kabul jelas maksudnya
f.
Orang yang
terikat dengan ijab dan Kabul tidak sedang ihram, haji atau umrah.
g. Majelis ijab dan
Kabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu calon mempelai atau
wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua orang saksi.
B. Kritik dan Saran
Demikianlah
makalah tentang Rukun dan Syarat Pernikahan yang telah kami paparkan.Kami
menyadari makalah ini jauh dari sempurna maka dari itu kritik yang membangun
dari pembaca sangat kami harapkan untuk perbaikan.Harapan pemakalah, semoga
makalah ini dapat memberi pengetahuan baru dan bermanfaat bagi kita semua.
Gemala dewi SH, Dkk. Hukum perikatan islam Indonesia.
(Jakarta : kencana, 2005) Hal.49-50
0 komentar: