AKAD NIKAH, SHIGHOT, SERTA SYARAT SYARAT AKAD

0 Comments



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
          Islam adalah satu-satunya agama yang tidak hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan saja (ibadah) melainkan juga mengatur hubungan antar manusia dengan manusia (muamalah). 
Hal ini dibuktikan dalam kitab suci Al-Qur’an.
Al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai macam aspek ilmu baik ilmu dunia maupun akhirat dan aturan-aturan tertentu untuk tujuan kemaslahatan manusia. Selain itu, terdapat pula hadits yang berfungsi untuk menjelaskan kandungan al-Qur’an dan memuat hukum yang tidak ada dalam al-Qur’an.
Dalam pengambilan hukum, ulama’ berusaha untuk memahami dan menafsirkan apa-apa yang dimuat dalam al-Qur’an. Hal ini dikarenakan al-Qur’an Bersifat global dan berfungsi  berfungsi sebagai sumber hukum dalam islam. Metode pengambilan hukum tersebut dalam islam disebut dengan istinbath al-ahkam. Hasil dari istinbath al-ahkam tersebut dibungkus ke dalam  sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu fiqh.

Salah satu bagian dari ilmu fiqh yang mengatur hubungan manusia dengan manusia
serta urusan keduniawian adalah fiqh muamalah. Sebagai makhluk sosial, manusia pasti memerlukan manusia lain, oleh karena itu islam memperhatikan hal tersebut dan menganggapnya sebagai sesuatu yang urgen dan vital. Salah satu contoh yaitu tidak semua orang memiliki barang yang ia butuhkan, sedangkan orang lain memiliki barang tersebut, dengan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, maka akan terjadi suatu transaksi.
Begitu juga dengan pernikahan. Seseorang tidak akan bisa langsung berhubungan dengan selain jenis tanpa adanya hubungan pernikahan. Salah Satu yang menjadi syarat pernikahan adalah adanya kesepakatan yang ditujukan kepada kedua mempelai.

Kesepakatan tersebut timbul apabila kedua belah pihak telah terikat satu sama lain dalam 
suatu ijab dan qabul. Inilah yang disebut dengan akad dalam islam. Akad tersebut digunakan dalam melakukan suatu transaksi maupun kerjasama dengan orang lain.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan akad nikah?
2. Bagaimana shighat dalam akad nikah?
3.  Apa saja syarat-syarat dalam akad nikah?

C.Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian akad nikah
2. Mengetahui shighat dalam akad nikah
3. Mengetahui syarat-syarat dalam akad nikah


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akad
Dalam Al-Qur’an, ada dua istilah yang berkaitan dengan perjanjian, yakni al-‘aqdu dan al-‘ahdu. 

Kata al-‘aqdu terdapat dalam Al Qur’an:
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman! Penuhilah akad-akad. Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah). Sesungguhnya Allah Menetapkan hukum sesuai dengan yang Dia Kehendaki. (Q.S Al-Maidah:1)

Secara etimologi, akad (al-‘aqdu) berarti perikatan, perjanjian, dan pemufakatan (al-ittifaq). Dikatakan ikatan karena memiliki maksud menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah  satunya pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seutas tali yang satu.
Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.

Istilah al-‘aqdu dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHP, karena istilah akad lebih umum dan  mempunyai daya ikat kepada para pihak yang melakukan perikatan. Sedangkan al-‘ahdu dapat disamakan dengan istilah overeenkomst , yang dapat diartikan sebagai suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu, dan tidak ada sangkut pautnya dengan kemauan pihak lain. Janji ini hanya mengikat bagi orang yang bersangkutan.

Pengertian akad secara terminology, yang dalam hal ini dikemukakan oleh ulama fiqh, ditinjau dari dua segi yaitu:

• Pengertian Umum
Pengertian akad dalam arti umum hampir sama dengan pengertian akad secara bahasa. Hal ini dikemukakan oleh ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, yaitu Segala sesuatu yang dikerjakan oleh seseorang berdasarkan keinginannya sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan, atau sesuatu yang pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang seperti jual-beli, perwakilan, dan gadai.

• Pengertian Khusus
Pengertian akad dalam arti khusus yang dikemukakan ulama fiqh yaitu Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.

B. Shighat Dalam Akad Nikah
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan menunjukkan atas apa  yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui melalui ucapan,perbuatan,isyarat  dan tulisan. Shighat dalam akad nikah yang dalam hal ini adalah Ijab dan Qabul disyaratkan harus saling berhubungan diantara keduanya. 

Syarat-syaratnya adalah:
• Qobul harus selaras dengan ijab.
Jika memang Ijab dan Qabul berbeda, semisal dalam pengucapan mahar dan penyebutan 
ma’qud alayh, maka akad tersebut tidak sah. Contoh: jika wali mengucapkan, “ saya menikahkan putriku bernama Fulanah dengan maskawin 1000”. Lalu mempelai pria menjawab, 
“saya menerima nikahnya dengan maskawin 500”, maka tidak sah akad tersebut. Tetapi 
ketentuan diatas tidak akan berlaku jika apa yang diucapkan oleh mempelai pria mengucapkan 
ucapan yang ashlah. Semisal “kuterima nikahnya dengan mahar 2000”. Maka pernyataan
tersebut sah dengan syarat mempelai wanita menerimanya.

• Akad harus terjadi pada satu tempat.
Jika salah satu dari orang yang akad meninggalkan tempat sebelum ijab qabul selesai, 
maka akad tidak sah. Menurut Jumhur Ulama’, tidak disyaratkan bagi mempelai pria ketika 
menjawab harus muttashil , tetapi diperbolehken bagi mempelai pria untuk melambatkan 
walaupun diselingi waktu yang lama selama Aqidayn masih dalam satu majlis dan tidak 
mengucapkan sesuatu yang melenceng dari akad.
Berbeda dengan Jumhur, Ulama’ Syafi’iyyah dan Malikyyah mensyaratkan Ijab dan 
Qabul harus muttasil. Tidak boleh dipisah, walaupun sebentar, kecuali sesuatu pemisah yang 
memang berhubungan dengan kemashlahatan akad. Seperti berbicara tentang mahar, maka hal 
demikian bukanlah sesuatu yang bisa merusak akad. Karena hal tersebut bukanlah hal yang 
melencengkan tujuan. Ulama’ Malikiyyah juga memperbolehkan berkata dengan lambat ketika 
qabul dengan syarat hanya sebentar saja.
• Ijab dan Qabul tidak boleh dibatasi
Maka tidak boleh akad nikah dibatasi oleh waktu atau perjanjian. Semisal “Aku akan menikahimu selama satu minggu”, “Aku akan menikahimu ketika aku lulus ujian.” Karena nikah adalah akad Mu’awadhoh , maka tidak sah akad nikah dengan menggunakan ta’liq.
Metode shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara. Diantaranya:

• Akad dengan lafad
Shighat denga ucapan adalah shighat akad yang paling sering digunakan karena mudah dan cepat dipahami. Isi lafad Ulama’ Hanafiyyah dan Malikiyyah berpendapat bahwa shighat akad dalam pernikahan boleh dengan lafad apa saja. Seperti Menikahkan, Menjadikan dan lain-lain. Serta diikuti dalam hati maksudnya adalah Pernikahan. Sedangkan dipihak yang lain, Ulama’ Hanabilah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa shighat akad dalam pernikahan tidak akan sah kecuali dengan menggunakan lafad nikah dan tazwij atau lafad yang semakna dengan itu. Lafad Shighat dan kata kerja 
dalam shighat Para Ulama’ sepakat bahwasannya fiil Madhi boleh digunakan dalam akad karena merupakan kata kerja yang paling mendekati maksud akad. Merekapun sepakat membolehkan penggunaan fiil mudhori’ . Tentu saja dengan diiringi dengan niat bahwa akad tersebut dilakukan 
seketika itu.
• Akad dengan perbuatan
Dalam akad, terkadang tidak menggunakan ucapan, tetapi cukup dengan saling meridhoi. 
Seperti yang jama’ pada zaman sekarang. Dalam menetapkan hal ini, Para Ulama’ berbeda pendapat, 
yaitu;
a. Ulama’ Hanabilah dan Hanafiyah diperbolehkan akad dengan perbuatan terhadap barang 
yang sudah umum diketahui manusia. Jika tidak umum, maka akad ini dianggap batal.

B. Imam Maliki dan Imam Ahmad berpendapat boleh tetapi dengan syarat harus jelas adanya 
kerelaan. Baik barang itu secara umum atau tidak.
• Akad dengan Isyarat
Bagi orang yang mampu berbicara, tidak diperbolehkan menggunakan isyarat. Bagi yang tidak 
bisa berbicara boleh menggunakan isyarat. Tetapi jika tulisannya bagus, maka lebih baik menggunakan 
tulisan. Hal ini dibolehkan jika dia memang cacat sudah sejak lahir. Kalau tidak sejak lahir, maka dia harus berusaha untuk tidak menggunakan isyarat.
• Akad dengan tulisan
Pada dasarnya, akad harus menggunakan ucapan. Tidak bisa membandingi akad dengan menggunakan ucapan kecuali memang dalam keadaan darurat. Dibolehkan akad menggunakan tulisan,baik bagi orang 
yang mampu berbicara maupun tidak, dengan syarat tulisan harus jelas, tampak dan dapat difahami oleh keduanya. Namun, jika kedua orang yang akad hadir dan bisa berbicara, maka tidak boleh menggunakan tulisan. Karena saksi harus mendengarkan perkataan orang yang akad. Inilah pendapat

Ulama’ Hanafiyyah.
 Ulama’ Syafiiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa akad dengan menggunakan tulisan itu 
sah jika kedua orang yang akad tidak hadir. Jika hadir, maka akad menggunakan tulisan tidak sah. Sebab tulisan tidak dibutuhkan.

C. Syarat-Syarat dalam Akad Nikah

Pembahasan kali ini akan dibagi enam bagian, yaitu; wali, saksi, maskawin, ta’yin az zaujain, adanya keridhaan antara dua mempelai, dan tidak terdapat hal yang dapat menghalangi keabsahan nikah.

1. Wali
Ulama’ berselisih pendapat apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau tidak. Berdasarkan pendapat asybab, Imam Malik dan Imam Syafi’i serta Imam Ahmad berpendapat bahwa tidak ada nikah tanpa wali, dan wali menjadi syarat sahnya nikah. Oleh sebab itu, seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri. 

Dalil yang menunjang adalah firman Allah Surat al-Baqarah ayat 232: 

Artinya :
“Apabila kamu menalak istri-istrimu, lalu habis idahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya..........”

Abu Hanifah, Zufar, asy-Sya’bi dan az Zuhri berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikahnya dirinya sendiri tanpa wali,sedang calon suaminya sebanding (Kafa’ ah ) maka nikahnya boleh.
Firman Allah SWT Surat al-Baqarah ayat 234:
Artinya:
“............Kemudian apabila telah habis idahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan 
mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut......”

Imam Dawud ad Dhahiri memisahkan antara gadis dan janda. Dia mensyaratkan adanya wali bagi gadis dan tidak mensyaratkan bagi janda karena sudah bisa memilih pasangan. Pendapat keempat yang dikemukakan Imam Malik dari riwayat Ibn al-Qosim menyimpulkan bahwa persyaratan wali itu sunnah hukumnya, dan bahkan fardhu ain. Hal ini dikarenakan adanya hubungan waris mewaris yang terjadi antara suami dan istri tanpa menggunakan wali. Imam Malik juga menganjurkan seorang janda mengajukan 
walinya untuk mengawinkannya.

Dengan demikian, Imam Malik seolah menganggap wali termasuk syarat kelengkapan pernikahan, 
bukan syarat sahnya pernikahan. Berbanding terbalik dengan pendapat Malikiyyah yang berpendapat wali termasuk syarat sahnya

2. Saksi
Imam Abu Hanifah dan Syafiiyyah berpendapat bahwa saksi termasuk syarat dalam pernikahan. Tetapi mereka berselisih apakah saksi menjadi syarat kelengkapan yang diperintahkan ketika hendak menggauli istri atau merupakan syarat sah yang diperintahkan ketika diadakan akad nikah.

Bagi fuqoha’ yang berpendapat bahwa saksi merupakan hukum syara’, mengatakan bahwa saksi merupakan salah satu syarat perkawinan. Sedangkan yang berpendapat bahwa kedudukan saksi sebagai 
penguat perkawinan menganggap saksi sebagai syarat kelengkapan.
3. Maskawin
Hukum Maskawin Fuqoha’ sepakat bahwasannya membayar maskawin adalah syarat sahnya nikah. 

Dasarnya adalah Firman Allah:
Artinya: Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian 
dengan penuh kerelaan. (Q.S An-Nisa:4)

Kadar Maskawin, Jumhur Ulama’ berpendapat bahwa tidak ada batasan tentang besaran mahar. Segala sesuatu yang bisa dijadikan harga, maka sesuatu tersebut boleh dijadikan mahar.

Ukuran mahar menurut Ulama’ Hanafi adalah sepuluh dirham atau satu dinar. Sedangkan menurut Ulama’ Maliki membatasi kadar minimal mahar adalah seperempat dinar atau tiga dirham.

4. Ta’yin Az Zaujain
Ta’yin Az Zaujain Yaitu menyebutkan secara pasti individu pasangan yang dinikahkan, bukan dengan ungkapan yang membuat ragu. Tidak boleh wali nikah hanya mengatakan: 

“saya nikahkan anda dengan anak 
saya“, padahal ia memiliki banyak anak. Harus disebutkan secara pasti anaknya yang mana yang ia nikahkan, dengan menyebutkan namanya. Misal dengan mengatakan: “saya nikahkan anda dengan anak saya, Aisyah“, ini sah.Tidak boleh juga sekedar menyebutkan: “saya nikahkan anda dengan anak saya yang besar (atau yang kecil)“, yang memungkinkan salah paham.

5. Adanya keridhaan dari kedua mempelai
Tidak terdapat hal yang menghalangi keabsahan nikah, atau dengan kata lain, kedua mempelai halal untuk menikah. Hal-hal yang menghalangi keabsahan nikah misalnya: Keduanya termasuk mahram Masih ada 
hubungan saudara sepersusuan Beda agama, kecuali jika mempelai suami Muslim dan mempelai wanita dari ahlul kitab maka dibolehkan dengan syarat wanita tersebut afifah (wanita yang menjaga kehormatannya). Sang wanita masih dalam masa iddah.

6. Tidak terdapat hal yang dapat menghalangi keabsahan nikah. 

Ada beberapa hal yang bisa menghalangi keabsahan suatu pernikahan diantaranya:
1. Kedua calon pengantin termasuk mahrom.
2. Kedua calon pengantin masih memiliki hubungan saudara sepersusuan.
3. Calon pengantin wanita dalam masa iddah.
4. Kedua calon pengantin memiliki agama atau keyakinan yang berbeda.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Secara etimologi, akad (al-‘aqdu ) berarti perikatan, perjanjian, dan Pemufakatan (al-ittifaq). Sedangkan al-‘ahdu secara etimologis berarti masa, pesan, penyempurnaan, dan janji atau perjanjian.Secara terminology yaitu Perikatan yang ditetapkan dengan ijab qabul berdasarkan ketentuan syara’ yang berdampak pada objeknya.

2. Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad dan menunjukkan atas apa yang dihati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui melalui ucapan, perbuatan, isyarat dan tulisan. Shighat dalam akad nikah yang dalam hal ini adalah Ijab dan Qabul 
disyaratkan harus saling berhubungan diantara keduanya.

Syarat-syarat Shighat akad adalah:
o Qobul harus selaras dengan ijab.
o Akad harus terjadi pada satu tempat.
o Ijab dan Qabul tidak boleh dibatasi.

Metode shighat dalam akad dapat diungkapkan dengan beberapa cara. Diantaranya :
o Akad dengan lafad
o Lafad dengan perbuatan
o Akad dengan Isyarat
o Akad dengan tulisan

3. Syarat-syarat dalam akad nikah:
o Wali
o Saksi
o Maskawin
o Ta’yin Az- Zaujain
o Adanya keridhaan antara kedua mempelai
o Tidak terdapat hal yang dapat menghalangi keabsahan nikah

B. Saran
Kami menyadari dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan, oleh karena itu, kami harapkan kritik dan saran dari para pembaca yang sifatnya membangun.



DAFTAR PUSTAKA

https//www.academia.edu.com
https//www.amrikhan.wordpress.com
https//dalamIslam.com/hukum https://www.instagram.com/p/BgVr7rMFJRT/Islam/pernikahan

Cinta Kebahagiaan

blogku Hakikat Cinta, guna menemukan apa arti cinta yang sebenarnya. Blogku Hakikat Cinta ditulis dengan hati dan rasa. Salam Rindu untuk Cinta

0 komentar: