PEMINANGAN DAN KAFAAH

0 Comments




BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
        Dalam pandangan Islam perkawinan itu bukanlah hanya urusan perdata saja, bukan pula sekedar urusan keluarga dan masalah budaya, tetapi masalah yang menyangkut dalam keyakinan dan peristiwa agama. Oleh karena itu perkawinan itu dilakukan untuk menaati sunah Rasullullah SAW dan perintah Allah SWT dan dilaksanakan sesuai dengan petunjuk Allah SWT dan petunjuk Rasullullah SAW serta menaati prosedur yang diatur dalam peraturan negara. Disamping itu, perkawinan juga bukan untuk mendapatkan ketenangan hidup sesaat, tetapi untuk hidup selamanya. Oleh karena itu seseorang harus bisa memilih pasangannya secara hati-hati dan dilihat dari berbagai segi. Ada beberapa motivasi yang mendorong seorang laki-laki memilih seorang perempuan untuk pasangan hidupnya dalam perkawinan dan demikian pula dengan seorang perempuan dalam memilih laki-laki untuk menjadi pasangan hidupnya. Utamanya adalah karena kecantikan seorang wanita atau kegagahan seorang pria atau kesuburan keduanya dalam mengharapkan anak keturunan, karena kekayaanya, karena kebangsawanannya dan karena agamanya.
        Diantara alasan yang banyak itu maka yang paling utama dijadikan motivasi adalah karena agamanya seperti yang disabdakan oleh Rasullullah:
“Perempuan itu dikawini dengan empat motivasi yaitu karena hartanya, karena kedudukannya atau kebangsaannya, karena kecantikannya dan karena agamannya. Pilihlah perempuan karena agamanya, kamu akan mendapatkan keberuntungan.”
        Maksud dengan agamanya disini adalah kesungguhan dalam menjalankan ajaran agamannya. Ini dijadikan pilihan utama karena akan memberikan keharmonisan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah. Karena sesungguhnya kekayaan bisa lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar, demikian pula suatu kedudukan akan hilang.
        Sebelum perkawinan, ada tahap yang dinamakan khitbah. Khithbah artinya melamar seorang wanita untuk dinikahi. Melamar bukanlah syarat sah pernikahan, namun ia merupakan sarana menuju pernikahan. Juga terdapat sebuah konsep yang dinamakan kafa’ah. Kafa’ah berasal dari bahasa arab, dari kata kafi’a yang berarti sama atau setara. Kata ini merupakan kata yang terpakai dalam bahasa arab dan terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti sama atau setara.


B. Rumusan Masalah
       Berdasarkan paparan dari latar belakang masalah di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan peminangan dan kafa’ah ?
2. Bagaimana hukum melaksanakan pinangan dan kafa’ah sebelum perkawinan ?
3. Apa hal-hal yang harus diperhatikan ketika melaksanakan pinangan dan kafa’ah ?

C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan peminangan dan kafa’ah.
2. Untuk mengetahui hukum melaksanakan pinangan dan kafa’ah.
3. Untuk mengetahui hal-hal yang harus diperhatikan ketika pinangan dan kafa’ah.

BAB II
PEMINANGAN DAN KAFA’AH
A. Peminangan
        Pengertian Peminangan
        Peminangan sama dengan Khitbah, dalam bahasa arab kata Khitbah berasal dari kata خطب – يخطب – خطبا – خطبة yang berarti permintaan atau peminangan.
Sedangkan menurut istilah, peminangan didefinisikan dengan beberapa pengertian antara lain:
        Sayyid Sabiq, mengartikan bahwa peminangan adalah meminta kesediaan wanita untuk menikah dengannya melalui cara yang dikenal di kalangan masyarakat.[]
Abu Zahrah, mendefinisikan peminangan dengan permintaan seorang laki-laki kepada wali atau seorang perempuan dengan maksud untuk mengawini perempuan itu.[]
Zakaria al-Anshari, mengatakan bahwa peminangan adalah permintaan pelamar untuk menikah kepada pihak tunangan
          Para ulama fiqh, medefinisikan peminangan sebagai keinginan pihak laki-laki kepada pihak perempuan tertentu untuk mengawininya dan pihak perempuan menyebarluaskan pertunangan tersebut
            KHI (Kompilasi Hukum Indonesia) juga menjelaskan pada Bab I, Pasal 1, bahwa khitbah (peminangan) adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang perempuan.[]
Dari beberapa pengertian peminangan di atas, maka dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa peminangan adalah permintaan yang mengandung akad (perjanjian) dari seorang laki-laki terhadap seorang perempuan untuk melangsungkan akad nikah, baik secara langsung maupun melalui walinya, dengan cara-cara yang sudah umum atau berlaku dalam masyarakat setempat.
        Dari situ tampak jelas bahwa peminangan atau pertunangan selalu datang dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan, baik dilakukan secara langsung oleh si peminang maupun diwakilkan kepada walinya. Meskipun demikian, di beberapa daerah terjadi hal yang sebaliknya, dimana yang meminang bukan dari pihak laki-laki melainkan dari pihak perempuan, misalnya: di Minangkabau, Rembang, Gresik dan lain-lain.[]
Khitbah bukanlah syarat sah pernikahan, namun khitbah merupakan sarana menuju pernikahan. Jika khitbah disepakati, maka ia merupakan sebuah ikatan janji untuk menikah, namun tidak dihalalkan apapun bagi seorang yang melamar kepada orang yang dilamarnya, bahkan orang tersebut masih tetap sebagai orang asing sampai terlaksananya sebuah akad nikah.

B. Dasar Hukum Peminangan
        Adapun yang menjadi landasan dilaksanakannya peminangan adalah Surat Al-Baqarah ayat 235  Artinya: “Dan tak ada dosa bagi kamu meminang perempuan- perempuan itu dengan sindiran yang baik atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut- nyebut mereka secara rahasia……”
        Dari ‘Urwah R.A. menceritakan bahwa Nabi SAW melamar ‘Aisyah R.A. kepada bapaknya yaitu Abu Bakar R.A, maka Abu Bakar pun berkata kepada beliau: “Sesungguhnya aku ini adalah saudaramu wahai Muhammad.” Beliau pun bersada:
أخِي فِي دِينِ اللهِ وَكِتَابِهِ, وَهِيَ لِي حِلَالٌ
“Saudara dalam agama Allah dan (menurut ketetapan) kitab-Nya. Dan ia (‘Aisyah) adalah halal bagiku.” HR. Al-Bukhori (5081)
Dari keterangan diatas bahwa peminangan diperbolehkan dengan cara yang disyariatkan dalam agama islam. Oleh karena itu peminangan diperbolehkan sebagai langkah awal untuk menuju pada perkawinan.

C. Syarat-syarat Peminangan
        Meskipun sebagian besar Ulama tidak menghukumi wajib terhadap peminangan, akan tetapi di dalam peminangan mengandung suatu akad (perjanjian) antara pihak laki-laki dan pihak perempuan, sehingga dalam melakukan peminangan harus melalui syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syariat. Fiqh Islam telah menjelaskan mengenai syarat-syarat sahnya peminangan, yaitu:
        Syarat-Syarat Peminangan
a. Syarat Lazimiah
        Syarat Lazimiah adalah syarat yang wajib dipenuhi sebelum peminangan dilakukan. Apabila syarat ini dilanggar maka dapat mengakibatkan batalnya khitbah yang telah dilakukan.
      Perempuan yang akan dipinang tidak termasuk mahram dari laki-laki yang meminangnya, baik mahram nasab, mahram mushaharah, maupun mahram radla’ah (sepersusuan).
Perempuan yang akan dipinang belum dipinang oleh laki-laki lain, kecuali laki-laki yang telah meminangnya telah melepaskan hak pinangannya atau memberikan izin untuk dipinang oleh orang lain. 
        Perempuan yang akan dipinang tidak dalam keadaan ‘iddah.
Selain syarat yang ketiga ini masih ada beberapa ketentuan, yaitu:
Perempuan yang dalam keadaan iddah raj’i, tidak boleh dipinang karena yang berhak merujuknya adalah bekas suaminya.
Perempuan yang berada dalam masa iddah wafat boleh dipinang tetapi dengan sindiran.
Perempuan dalam masa iddah bain sughra boleh dipinang oleh bekas suaminya.
Perempuan dalam masa iddah bain kubra boleh dipinang oleh bekas suaminya, setelah perempuan itu kawin dengan laki-laki lain, didukhul dan diceraikan.[]

b,.Syarat Mustahsinah
Syarat mustahsinah adalah syarat tambahan yang apabila dipenuhi akan mendapat kebaikan dari perbuatan yang disyaratkan. Syarat mustahsinah tidak harus dipenuhi dalam peminangan, tetapi lebih bersifat anjuran kepada seorang laki-laki yang akan meminang seorang perempuan, agar rumah tangga yang akan dibangunnya berjalan dengan sebaik-baiknya. Syarat-syarat mustahsinah antara lain:
Sejodoh (kafa’ah)
Subur dan mempunyai kasih sayang
Masing-masing pihak hendaknya mengetahui keadaan jasmani dan budi pekerti dari
keduanya, sehingga tidak timbul penyesalan di kemudian hari.

,4. Membatalkan Pinangan dan Konsekuensinya
Pinangan merupakan langkah awal menuju akad nikah. Biasanya, pinangan disertai dengan menyerahkan mahar baik seluruh maupun separuhnya. Juga disertai berbagai bentuk hadiah dan bingkisan, dengan tujuan mempererat pertalian dan penguatan hubungan baru. Pada perkembangannya, pinangan bisa saja dibatalkan oleh pihak laki-laki ataupun pihak perempuan, atau atas kesepakatan keduanya sehingga tidak melanjutkan ke jenjang akad nikah.
Membatalkan pinangan adalah salah satu hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak yang terikat janji tersebut. Agama tidak menetapkan hukuman materi apa pun terhadap pelanggaran janji, meskipun tetap menganggapnya sebagai akhlak yang jelek dan salah satu sifat orang-orang munafik, kecuali jika ada alasan kuat yang mendesak untuk tidak memenuhinya.
Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Ada tiga tanda orang munafik: jika berbicara dia berdusta; jika berjanji dia ingkar; dan jika dipercaya dia khianat.”

Para penyusun kitab As-Sunan meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal bagi seseorang yang member sesuatu atau menghibahkannya, lalu menariknya kembali kecuali pemberian ayah kepada anaknya.”
Mereka juga meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang menarik kembali hibahnya sama dengan orang yang menarik kembali muntahnya.”
Pihak laki-laki berhak mengambil kembali mahar yang telah diberikan, karena tujuan pemberiannya sebagai imbalan pernikahan. Sehingga selama pernikahan tidak terjadi maka mahar tidak dapat dimiliki, dan wajib dikembalikan kepada pemiliknya.
Sedangkan hadiah, hukumnya disamakan dengan hibah. Menurut pendapat yang kuat, hibah tidak dapat diambil kembali selama tujuannya adalah pemberian sukarela, bukan sebagai imbalan. Alasannya, ketika orang yang diberi hibah menerima barang hibah, maka hak milik barang tersebut telah berpindah kepadanya dan dia berhak menggunakannya. Jika orang yang menghibahkan menariknya kembali, berarti sama dengan perampasan kepemilikan orang lain.
Jika tujuan peminang memberikan hadiah adalah untuk mendapatkan imbalan dan balasan tertentu, sementara orang yang menerima hibah tidak memenuhinya, maka boleh menarik kembali hibahnya. Ketika pernikahan tidak jadi, maka dia berhak mengambil kembali hibahnya.

,5. Pendapat para Ulama Fiqh
Pendapat Mazhab Hanafi (praktik yang berlaku di pengadilan-pengadilan saat ini)
Pendapat mazhab hanafi menganggap hadiah yang diberikan oleh laki-laki kepada perempuan yang dipinangnya dapat ditarik kembali jika masih utuh dan belum berubah.
Ini berarti barang-barang seperti gelang, cincin, kalung, jam tangan dan sejenisnya, harus dikembalikan kepada pihak laki-laki selama masih ada. Tetapi jika keadaannya tidak lagi utuh seperti saat diberikan, seperti hilang atau dijual, berubah karena dimodifikasi, atau berupa makanan yang telah dimakan, atau kain yang telah dijahit menjadi pakaian, maka pihak laki-laki tidak berhak menarik hadiahnya kembali atau menuntut gantinya.

Pendapat Mazhab Maliki
Mazhab Maliki memperinci lebih jauh. Jika yang membatalkan adalah pihak laki-laki, maka dia tidak berhak menarik kembali hadiahnya. Tetapi jika yang membatalkan adalah pihak perempuan, maka pihak laki-laki berhak menarik kembali semua hadiahnya, baik kondisinya masih utuh maupun sudah rusak. Dia berhak menuntut ganti, kecuali ada kebiasaan atau syarat yang harus diberlakukan.

Pendapat Mazhab Syafi’i
Pendapat mazhab syafi’I yakni hadiah harus dikembalikan baik kondisinya utuh ataupun rusak. Jika masih utuh, maka barang asli harus dikembalikan. Tetapi jika tidak, maka cukup mengganti dengan nilai yang sama. (lebih dekan dengan yang kami-sayyid sabiq-terima)

Pengadilan Agama Thantha telah mengambil keputusan akhir, pada tanggal 13 Juli 1933, dan menetapkan kaidah-kaidah berikut ini:
Segala bentuk pemberian laki-laki kepada wanita yang dipinangnya, selama tidak dimaksudkan sebagai syarat akad, dianggap sebagai hadiah.
Hadiah sama dengan hibah, baik hukum maupun pengertiannya.
Hibah adalah akad kepemilikan yang berlaku setelah diterima.
Orang yang menerima hibah berhak memanfaatkan barang hibah, seperti jual beli dan lainnya. Penggunaannya tersebut adalah sah.
Kerusakan atau pengkonsumsian barang membatalkan penarikan hibah kembali.
Pemberi hibah hanya boleh menuntut pengembalian barang selama barang tersebut masih utuh.

,6. Cara-cara yang diperbolehkan dalam meminang.
Boleh meminang perempuan yang sudah dewasa secara langsung.
Dari Ummi Salamah ra. ia menceritakan bahwa ketika Abu Salamah ra. meninggal dunia, Rasulullah SAW mengutus Hatib bin Abi Balta’ah ra. kepadaku untuk melamarkan beliau untukku. Aku pun berkata “Sesungguhnya aku sudah mempunyai anak perempuan, dan aku adalah orang yang pencemburu.” HR. Muslim (918) dan An-Nasa’I (6/81)

Seorang wali perempuan boleh menawarkan anaknya untuk dipinang kepada orang shalih.
Sebagaimana diceritakan bahwa Nabi Syu’aib As. menawarkan kepada Nabi Musa As. anaknya untuk dinikahi. Firman Allah SAW dalam Q.S Al-Qashash [28]: 27
“Berkatalah dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari anakku ini.”
Dari Ali bin Abu Thalib ra. ia berkata: “Aku pernah berkata kepada Rasulullah SAW: Wahai Rasulullah, kenapa anda sangat mengutamakan wanita-wanita Quraisy dan meninggalkan wanita-wanita kami?” Beliau balik bertanya: “Adakah wanita dari kalian yang pantas bagiku?” Dia menjawab: “Ya, yaitu putrinya Hamzah.” Maka Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya dia tidak halal bagiku, karena dia adalah putri saudaraku dari sepersusuan.” HR. Muslim (1446) dan An-Nasa’I (6/99)

 Seorang perempuan boleh menawarkan dirinya untuk dinikahi kepada orang yang shalih.
Dari Anas ra. ia berkata: “Ada seorang wanita datang kepada seorang Rasulullah SAW lalu menghibahkan dirinya kepada beliau.” Wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, adakah anda berhasrat kepadaku?”. Lalu anak wanita Anas pun berkomentar: “Alangkah sedikitnya rasa malunyya.” Anas ra. berkata: “Wanita itu lebih baik daripada kamu, sebab ia suka pada Rasulullah SAW, hingga ia menghibahkan dirinya kepada beliau.”
Kondisi seperti ini dibolehkan apabila mampu menjaga dari fitnah, namun jika penawaran peremuan tersebut kepada laki-laki shalih agar mau menikahinya malah menimbulkan fitnah, maka iu dilarang karena akan mengakibatkan kerusakan, dan Allah SAW tidak menyukai kerusakan.

,7. Memandang Wanita yang Dipinang
Salah satu faktor yang dapat menunjang keharmonisan kehidupan rumah tangga dan membuatnya selalu diliputi rasa bahagia dan kesenangan adalah laki-laki memandang wanita yang hendak dipinangnya. Tujuannya adalah untuk memastikan wanita tersebut memang cantik, sehingga dapat memberi motivasi tersendiri untuk menjadikannya sebagai pendamping hidup. Atau bahkan menjatuhkan pilihannya kepada wanita lain.
Al-A’masy berkata: “ Setiap pernikahan yang tidak didahului dengan nazhar (memandang calon istri) akan diakhiri dengan kesedihan dan kekecewaan.” Nazhar diajarkan dan dianjurkan oleh agama.
Jabir bin Abdullah ra. menyatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Jika seorang diantara kalian meminang wanita, maka seandainya mampu memeandang bagian tubuhnya yang dapat mendorongnya untuk segera menikahinya, maka hendaklah melakukannya.” Jabir berkata: “Ketika aku hendak meminang seorang wanita-dari Bani Salamah-aku bersembunyi sampai dapat melihat bagian yang dapat mendorongku untuk menikahinya.” HR. Abu Dawud
Maghirah bin Syu’bah menuturkan bahwa dirinya meminang seorang wanita, lalu Rasulullah SAW bertanya: “Apakah engkau telah melihatnya?” Mughirah menjawab: “Tidak” Rasulullah SAW berkata: “:ihatlah wanita itu, karena hal itu dapat membuat hubungan kalian harmonis.” HR. Tirmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah. Tirmidzi menyatakan hadis ini hasan.
Hal-hal yang boleh dipandang:
Kebanyakan ulama berpendapat, lelaki hanya boleh memandang wajah dan dua telapak tangan wanita yang hendak dipinangnya. Sebab dengan memandang wajah dapat disimpulkan parasnya cantik atau buruk, sementara dengan memandang telapak tangan dapat disimpulkan badannya berisi atau kurus.
Menurut Dawud, boleh memandang seluruh tubuhnya
Menurut Al-Auza’I, boleh melihat bagian-bagian yang dapat menunjukan kepadatan dagingnya.
Hadits-hadits yang ada tidak menentukan bagian-bagian tubuh wanita mana saja yang boleh dilihat, melainkan membebaskannya unuk member keleluasaan kepada laki-laki melihat bagian yang dapat memenuhi tujuannya dengan melihat tersebut.
Hukum boleh melihat ini tidak terbatas bagi laki-laki saja, melainkan berlaku juga bagi wanita, sehingga dia boleh melihat laki-laki yang meminangnya. Umar ra. berkata: ”Jangan nikahkan anak-anak kalian dengan laki-laki yang buruk rupanya, karena mereka memiliki ketertarikan yang sama dengan laki-laki.”

Kafa’ah (kesetaraan) dalam Pernikahan
Makna kafa’ah menurut bahasa adalah sama dan setara. اَلمُسلِمُونَ ثَثَكَافَأُ دُمَاؤُهُم. “Darah orang-orang islam setara”(Al-Mughani: 6/476). Maksudnya sebanding. Maka darah orang yang rendah sebanding dengan darah orang yang tinggi.
Menurut mazhab Maliki, kesetaraan adalah dalam agama dan kondisi (keselamatan dari cacat yang membuatnya memiliki pilihan). Menurut jumhur fuqaha adalah agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi. Ditambah oleh mazhab Hanafi dan Hambali dengan segi kemakmuran uang. Tujuannya adalah terwujudnya persamaan dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan dalam kehidupan rumah tangga.
Pendapat fuqaha dalam pernyataan kafa’ah:
Sebagian dari mereka seperti ats-Tsauri, Hasan Al-Basri, dan Al-Kurkhi dari mazhab Hanafi menilai bahwa kafa’ah buakan suatu syarat dalam pernikahan.  Buakn syarat sah maupun syarat lazim pernikahan.
“Orang Arab tidak lebih utama daripada orang asing kecuali dengan ketaqwaan” (Fathul Qadiir: 2/415)
Dalil ini dijawab, manusia sama dalam hak-hak dan kewajiban. Mereka tidak saling lebih utama kecuali dengan ketaqwaan. Sedangkan apa yang berdasarkan penilaian kepribadian yang berlandaskan tradisi dan adat manusia, maka pasti manusia saling memiliki perbedaan. Ada perbedaan dalam sisi rezeki dan kekayaan, Allah berfirman,
“Dan Allah melebihkan sebagian yang lain dalam hal rezeki.” (Q.S An-Nahl: 71)
Ada juga kelebihan dalam ilmu yang menyebabkan timbulnya pemuliaan, Allah SWT berfirman,
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.” (Q.S Al-Mujadilah: 11)
Manusia masih terus mengalami perbedaan dalam kondisi sosial dan posisi sosial mereka yang merupakan fitrah manusia. Syariat tidak bertabrakan dengan fitrah, tradisi, dan adat yang tidak bertentangan dengan asal dan prinsip agama.
Semua darah sama dalam perkara pidana.
Orang bangsawan dihukum qisas yang berupa dibunuh akibat membunuh orang biasa dan orang berilmu dibunuh karena membunuh orang yang bodoholeh sebab itu, ketidaksetaraan dalam perkawinan diqiaskan dengannya. Karena dalam qisas dalam persoalan pidana adalah untuk mencari maslahat manusia dan untuk menjaga hak kehidupan agar jangan sampai orang yang memiliki kehormatan atau nasab berani membunuh orang yang berada dibawahnya yang tidak setara dengannya.
Sedangkan kesetaraan dalam perkawinan adalah untuk mewujudkan maslahat kedua pasangan yang berupa pergaulan yang berkelanjutan dengan diiringi rasa sayang dan dekat diantara keduanya.
Pendapat jumhur Fuqaha yakni empat mazhab, bahwa kafa’ah merupakan syarat lazimnya perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan.
Hadits riwayat Ali bahwa Rasulullah SAW. berkata kepadanya:
“Tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan; shalat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang, dan perempuan yang belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya.”
Syafi’I berpendapat, asal kafa’ah dalam pernikahan adalah hadits Buraidah Nabi saw. telah menyerahkan pilihan kepadanya karena suaminya tidak setara dengannya setelah merdeka. Suaminya adalah sorang budak. Kamal ibnul Hammam berkata, bahwa hadits ini dhaif dari beberapa jalan yang berbeda, dan meningkat ke tingkat hasan karena adanya perkiraan bagi sahnya maknanya, dan tatapnya disisi Nabi saw.
Dalil ma’qul. Yaitu terbinanya maslahat antara suami-istri dengan adanya kesetaraan diantara keduanya. Adat, tradisi, dan kekuasaan biasanya memiliki pengaruh yang lebih kuat dan besar terhadap istri. Imam Malik menganggap kesetaraan hanya pada masalah agama dan kondisi saja. Maksudnya, selamat dari aib yang membuat perempuan memiliki hak untuk memilih dalam perkawinan.
Sifat-sifat kesetaraan:
Mazhab Maliki, sifat kafa’ah ada dua: yaitu agama dan kondisi, maksudnya selamat dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya pilihan, bukan kondisi dalam arti kehormatan atau nasab.
Mazhab Hanafi ada enam sifat kafa’ah: yaitu agama, islam, kemerdekaan, nasab, harta, dan profesi. Menurut mereka, kafa’ah tidak terletak pada keselamatan dari aib yang dapat membatalkan jual-beli, seperti gila, kusta, dan mulut yang berbau.
Mazhab syafi’I ada enam sifat kafa’ah: yaitu agama, kesucian,  kemerdekaan, nasab, terbebas dari aib yang dapat menimbulkan pilihan, dan profesi.
Mazahab Hambali, sifat kafa’ah ada lima: yaitu agama, profesi, nasab, kemakmuran (harta), profesi. Mereka sepakat atas kafa’ah dalam agama. Dan mazhab selain Maliki sepakat atas kafa’ah dalam kemerdekaan, nasab dan profesi. Mazhab Maliki dan Syafi’I sepakat mengenai sifat bebas dari aib yang dapat menyebabkan timbulnya hak untuk memilih.


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
    Khitbah (peminangan) adalah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang perempuan. Pinangan merupakan langkah awal menuju akad nikah, dan bukan merupakan syarat sahnya suatu pernikahan.
Peminangan diperbolehkan dengan cara yang disyariatkan dalam agama islam sebagai langkah awal untuk menuju pada perkawinan. Tentunya dengan berlandaskan kepada firman Allah SWT khususnya dalam surat Al-Baqarah ayat 235 dan sesuai dengan yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. khususnya dalam HR. Al-Bukhori (5081)
Hal-hal yang harus diperhatikan dalam peminangan yakni memilih calon pinangan terutama dari segi agamanya. Agamanya disini adalah kesungguhan dalam menjalankan ajaran agamannya. Ini dijadikan pilihan utama karena akan memberikan keharmonisan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rohmah. Karena sesungguhnya kekayaan bisa lenyap dan kecantikan suatu ketika dapat pudar, demikian pula suatu kedudukan akan hilang. Serta syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam melakukan khitbah yakni syarat Lazimiah dan syarat Mustahsinah.

B. Saran
Khitbah (peminangan) bukan merupakan syarat sah perkawinan. Namun khitbah menjadi gerbang untuk menuju ke jenjang pernikahan sehingga pernikahan menjadi lancer. Melalui khitbah, pihak laki-laki maupun pihak perempuan dapat menentukan pasangannya dengan memperhatikan hal-hal yang menjadi pertimbangannya terutama dalam hal kafa’ah seperti agamanya, nasabnya, dan lain sebaginya sehingga mampu membentuk keluarga yang sakinah, mawadah wa rahmah tentunya dalam rangka beribadah kepada Allah SWT.

Cinta Kebahagiaan

blogku Hakikat Cinta, guna menemukan apa arti cinta yang sebenarnya. Blogku Hakikat Cinta ditulis dengan hati dan rasa. Salam Rindu untuk Cinta

0 komentar: